Kau turun di jantungku, tapi aku selalu tak tahu,
ke mana mata arasmu bernaung.
darah ini seketika melindap jadi debu,
dan diamku adalah wujud ketidakmengertianku,
akan cahaya-Mu...
entah merapat entah menjauh
kadang jauh kadang rapat
kalau waktu boleh kusastrakan dan nasib boleh kulukis,
aku ingin menjadi seniman abadi,
yang hanya hidup bebas merdeka...
tetapi tidak...aku harus terbawa arus lain.
arus dari-Mu yang pelanpelan Kau bisikkan di kupingku,
yang samar tapi melejit—dan jantungku makin miris:
menahan tulang yang hampir remuk, rentas,
habis terbabat
Kau turun lagi ke dahiku, membentuk gelombang cahaya fana.
mengatur setiap nafas. menguatkan kesakitan.
Jogja, 11 September 2010
Ramadhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar