Kamis, 03 Desember 2009
Sriwijaya Air Masuk Kampung
Take off dari jalan protokol di depan Pasar Gede Solo. Pilotnya lalu membawaku memasuki kampung-kampung. Seperti hendak menabrak rumah tapi gagal. Sempat sedikit melewati semacam kamp militer di daerah “entah.” Berhenti sebentar di situ, aku jalan-jalan di pasar malam. Ada sebuah stan buku bertuliskan “Dewan Kesenian”. Setiap hari stand itu membagikan buku-buku diskon. Bahkan, buku-buku yang bagus pun dijual dengan harga sangat murah: 7000 rupiah. Aku nggak ngerti, apa arti mimpi ini... Sriwijaya Air segede gitu bisa masuk kampung! Dan take offnya dari Pasar Gede. Aneh....
Jogja, 24 Nov 2009
bibirmu mekar begitu saja
malam ini kita baru saja selesai mengobral sepoisepoi malam,
yang dibubuhkan lapis demi lapis nafasku-nafasmu.
obrolan memadat jadi tawa-tawa kecil.
lama-kelamaan...tak sadar kau ucapkan kesan-kesan yang amat manis
—di antara guratan bibir merah jambumu yang mekar begitu saja.
selalu...dan selalu begitu
Lembayung
Suatu ketika di musim gugur. Skandinavia, 1983. Seorang gadis menyepi mencari kebahagiaan di Vadso, sebuah desa terpencil di ujung geografi. Sawah-sawah tengah menguning. Pohon cemara dan bunga raflesia terlihat sungguh perawan. Langit tidak sendiri. Ia berteman warna kuning-orens dan guratan sinar lurus yang lama-lama pudar membentuk komposisi indah. Gadis itu mengangkat kepalanya ke atas. Ia mengagumi keindahan lembayung. "Aku seperti langit itu," katanya dalam hati.
Vadso bukanlah tempat impian, bagi Karina, nama gadis itu. Tetapi begitu mudahnya mengatakan gelisah dan menggantinya dengan tangis, atau lamunan yang berujung pada kekosongan pikiran. Usianya belumlah genap 19 tahun, tetapi secemerlang pemikir yang menyumbangkan ilmunya untuk dunia, Karina adalah harapan bagi masa depan. Ia menyepi untuk mencari kesamaan-kesamaannya dengan alam.
Alam itu, yang terdiri dari air, cahaya, dan udara, selalu memberikan inspirasi bagi Karina, di sela-sela perenungannya mencari hakikat hidup: tentang kesunyian dan kefanaan. Air melepaskan dahaga. Cahaya memberi terang pada setiap jalan.
Dan udara adalah kebebasan.
Suatu waktu ia bertemu seorang pria yang menanyakan tentang cita-cita. "Tahukah kamu, kenapa seorang Bunda Teresa memiliki cita-cita yang amat sederhana? Yaitu melayani umat manusia. Tetapi, dalam kesederhanaan itu tersimpan sesuatu yang tidak mudah. Yang tidak bisa dicapai tanpa adanya ketulusan. Apa cita-citamu, Karina?"
Karina tertegun. Ia menatap wajah pria itu dengan dahi sedikit berkerut. Tetapi pria itu mengerti, wajah Karina bukanlah tanpa sebab. Ia tengah mencari jawaban yang pasti. Sementara, daun-daun di sekitarnya satu-persatu berjatuhan.....
Sama seperti ketika Mahatma Gandhi mencita-citakan umat manusia terbebas dari segala jenis permusuhan dalam jalan perdamaian, kasih sayang, dan kebahagiaan. Karina merenung dan mengingat barisan mutiara Dhammapada, tentang Sukha Vagga (kebahagiaan). Buddha Gotama mengajarkan pada gadis itu: "Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di antara orang-orang yang membenci, kita hidup tanpa benci."
Yah, kebencian bukanlah tujuan untuk mencari kebahagiaan. Seperti gunung yang nampak indah menjulang, kebiru-biruan. Tetapi, pendakian di atasnya tidaklah semudah menggelincir di atas salju. Ada juga kemungkinan untuk hilang dan tak pernah kembali lagi, seperti cerita pecinta alam di suatu sore.
Ah, Karina, kamu adalah gadis yang penuh kelembutan. Perasaanmu adalah jelmaan dari sutra-sutra yang berkelebatan di angin. Pria itu mengerti, kelembutan tak pernah lahir dari keterpaksaan, melainkan ketulusan hati. Tetapi cita-cita itu, yang kau jawab dengan penuh rasa sungkan, adalah sebagian dari mimpi-mimpimu selama ini: tentang janji-janji-Nya yang indah.
Karina pun akhirnya menjawab pertanyaan pria itu: "Cita-citaku akan tumbuh bersama perasaan-perasaan-Nya. Dan aku akan menjadi perempuan yang berbahagia karena cinta. Sederhana, bukan?"
Pria dengan tatapan tajam itu terheran-heran mendengar jawaban dari bibir Karina, yang tak meninggalkan kepastian. "Siapa yang dimaksud 'Nya' sesudah kata perasaan? Akankah Tuhan? Akankah kekasih? Ataukah alam semesta?" Gumam pria itu.
Makin sulit bagi Karina, seorang perempuan biasa namun bersahaja itu, untuk menolak kebahagiaan, dan memperjuangkannya sehingga menjadi tujuan dari hidupnya. Usia 19 tahun bukanlah usia yang sedikit untuk titik tolak sebuah langkah.
Sesudah gumamnya, Pria itu mau bertanya apa lagi pada Karina?
Selalu ada yang mengejutkan, dari perjumpaan-perjumpaan Karina dengan banyak orang. Terutama ketika ia ingin duduk dan menyepi, selalu saja ada pria yang menanyakan hal-hal yang membuat Karina bertanya kembali, siapa dirinya.
Siapa sesungguhnya perempuan ini? Apakah ia terlalu salah dan buru-buru menilai kehidupan? Bahkan egois dan terlalu cepat memutuskan langkah-langkahnya.
Maklum, usia remaja tak selalu lahir dengan manajemen yang serba pasti. Alias, rencana-rencana itu justru tersirat begitu saja, dalam peristiwa-peristiwa yang tak terduga, seperti lahirnya berbaris-baris puisi, yang bisa tiba-tiba mencuatkan kejutan, dan bisa begitu saja meluapkan ketercenungan dengan penuh pertimbangan.
Hmmm.....kenapa hidup harus dipikir berat? Tidakkah ada yang lebih mudah selain memandangi bintang di waktu malam, atau merasakan tetesan hujan bulan November--lalu membawa semua itu ke dalam mimpi indah. Yah, nice dream.
"Hidup ini baiknya mengalir saja," kata Karina.
Ah, tetapi, semengalir-mengalirnya sungai tetap juga akan ketemu karang dan bebatuan--yang bisa menghambat lajunya, atau bisa juga mempermanis pemandangan.
Pria itu kemudian bertanya lagi:
"Apa sebabmu menyendiri di sini?"
"Tak mengapa, aku hanya ingin bersahabat lebih intim dengan alam."
"Siapa Tuhanmu, Karina?"
"Alam semesta."
"Sampai kapan kau bertahan di sini? Bukankah ular bisa memakanmu? Dan burung elang bisa saja mencabik rambutmu sampai patah?"
"Tak mungkin...."
"Mungkin saja. Semua di dunia ini mungkin terjadi."
…..
Burung merpati tiba-tiba hinggap di pundak Karina, terpekur kecil, seperti memberikan firasat atas panggilan alam. Lugu dan manja. Merpati putih dengan sedikit bulu abu itu diam menunggu belas kasihan, menunggu usapan dari gadis sengaja dipilihnya untuk hinggap. “Kau tahu, putih adalah kesucian, dan abu adalah perlambang penghapusan akan dosa,” kata Karina jinak pada merpati. Burung itu mengerti. Ia mengepakkan sedikit sayapnya. Seolah setuju kalau kelahirannya bukan semata memenuhi tanggung-jawab untuk terbang, tetapi juga menelusuri makna-makna.
Karina teringat lagi sejarah Skandinavia. Ia terkagum pada Balder, adalah Dewa kedamaian, keindahan, kegembiraan, dan kesucian dalam Mitologi Nordik. Dia adalah putera kedua Odin. Istrinya Nanna dan putranya bernama Forseti. Balder memiliki kapal terbesar yang pernah dibuat, bernama Hringhorni, dan sebuah balairung yang bernama Breidablik. Yang menyedihkan, Ia mati karena ulah Loki yang memperdaya Hodhr.
“Kau jangan mati merpati. Aku tahu, kenapa kau hinggap di sini. Karena kau menghindari kematian. Dan Balder pun tak pernah menyadari bahwa kesuciannya dimanfaatkan dalam tipu daya, sehingga ia mati, dan berhenti menjadi Dewa.”
Ingatan Karina masih sangat tajam. Satu pesan yang penting dari keajaibannya sebagai perempuan, adalah pengingatan akan sejarah kedamaian. Bukan saja hubungan antara manusia dan manusia, manusia dan Tuhannya, tetapi juga terhadap apa saja yang ada di dunia ini—sampai di batas-batas yang tak pernah kelihatan.
Vadso memang dikelilingi hamparan pesona laut dan juga sudut-sudut kecil tempat merpati beranak-pinak, melangsungkan metamorfosanya. Letak dusun ini ada di paling ujung utara Skandinavia, diapit Arctic Ocean dan Barent Sea. Jelas negeri ini jauh dari hiruk pikuk. Masyarakatnya menggantungkan hidup dengan melaut dan bertani. Hobens, ayah Karina, adalah seorang petani—tetapi naasnya, ia diteror oleh penyusup yang akhirnya menghanguskan ladangnya beserta Hobens dan istrinya Gabriele…
Sesudah peristiwa itu, 1978, Karina adalah seorang yatim piatu. Kemana pun pergi ia hanya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung selesai…
Hidup bagi Karina adalah semacam pisau yang terdiri dari bermacam sisi. Kiri kanannya adalah ancaman, dan juga teror tanya yang berkepanjangan. Lembayung demi lembayung, hari demi hari, selalu menaklukannya dalam sepi. Kicau burung dan ranting yang jatuh begitu saja seperti mengekspresikan pesimisme dan optimisme di antara cita-cita. Dan lembayung itu masih tetap setia di atas, tak pernah merubah warnanya.
Sesekali Karina mengernyitkan kening dan bertanya:
“Apa yang dimaui lelaki itu, sampai ia bertanya aneh-aneh tentangku? Bukankah ia sudah mengerti apa yang tengah kuinginkan dan kurasakan?”
Jauh hari sebelum peristiwa demi peristiwa “tentang tanya seorang pria” itu mengisi pikiran Karina, ia sudah tahu ada yang tidak beres di sekeliling hidupnya…tetapi sekaligus, ia makin penasaran terhadap lelaki itu….
Disibakkannya rambut lurus dan gelap itu. Makin tak mengerti, tetapi juga makin tak karuan. “Misteri, misteri, dan misteri,” Karina bergumam. Penasarannya makin menjadi.
Bagaimana pun juga, Karina adalah gadis yang setia pada waktu, dan ia akan menjelaskan pada orang yang ingin menyelami perasaannya lebih dalam. Yang sungguh-sungguh menghargai perasaannya sebagai perempuan. Dan, yang mampu memberikan semangat demi semangat dalam setiap langkah sepi Karina mencari kesunyian.
Karena tak mungkin, gadis secantik Karina hanya rampung ditelan lembayung dan alam. Tak mungkin pula, gadis seramah Karina hanya selesai diombang-ambingkan teka-teki. Ia setia menjawab…dan terus menjawab… apapun pertanyaan lelaki itu.
Hubungan komunikasi keduanya makin hari makin terasa akrab. Pria yang belakangan diketahui bernama Rafaga itu banyak memberi ruang ungkap bagi perasaan Karina. Ia mengisi kesepian, setiap pagi mendatangi dengan salam, sarapan, dan sapaan yang hangat.
Diam-diam…ternyata Rafaga jatuh hati pada Karina. Begitu juga sebaliknya.
Hmmm… teristimewa, alasan Rafaga adalah karena kelembutan, keramahan, dan kesabarannya, bukan karena memelas.Ini semua seperti mukjizat yang begitu saja muncul tanpa adanya proses-proses doa dan kerja keras melampaui garis transendensi.
“Tahukah kamu, aku tak perlu bertanya apa-apa lagi padamu, Karina. Aku hanya ingin meyakinkanmu bahwa aku mencintaimu, sesuai dengan ramalan yang dituliskan para pujangga. Sesuai dengan mimpi masa silamku. Bahwa di Vadso ini akan terjadi pertemuan antara lelaki dan perempuan, yang berujung pada perpaduan kasih abadi. Dipayungi lembayung yang mesra tanpa mendung. Dikelilingi aroma bulir tanah bulan Desember. Karina, aku ingin tenggelam di sebalik perasaanmu. Aku ingin bunga menjadi keindahan yang kita petik setiap hari. Aku ingin menyayangimu tanpa perlu berkata-kata, tetapi dengan perbuatan. Aku ingin menggenggam penuh harapan-harapkan yang kautiupkan pada langit. Kuyakin kamu merasakan hal yang sama, Karina…”
Suasana berubah hening…
Tak lama kemudian, keduanya berpeluk hangat..
Lembayung tak bisa berkata-kata lagi…
Kecuali diam dalam senyuman
Jogja, 30 November 2009