Kamis, 05 Agustus 2010
Oase di Senja Rock n Roll Indrayanti
Coretan ngawur ini kutujukan pada siapa pun yang menyelami kedalaman dengan tenang. Tanpa peduli takut. Itulah kesejatian. Dan musik, selalu mencoba membantu kita untuk tegar.
Dari pantai inilah rahasia tertulis. Pasir-pasir yang masih tersisa di celanaku adalah serpihan semangat, yang datang darimu: para pejalan yang tangguh.
**
Tetapi kawan, kupingku masih sulit mendengar, mana yang paling aman buat gendang telingaku saat ini. Hari ini aku dengar rock’n roll, besok keroncong, lusa uyon-uyon, the day after lusa aku dengar pop cengeng, next week aku suntuk dengan world music dari belahan dunia mana pun, dan sebagainya. Belum lagi telinga yang sedemikian terbuka untuk disco, rap, kontemporer, jazz, lagu-lagu gereja, dan...”Oh ya? Apa kabarmu Dedet yang membisikkan di telingaku growl Fanatik Buta yang ekstrim dari grup Hard Core nomor satu di Jogja, Something Wrong. Hehehe...”
Makanya, kawan, ketika kamu mendengarkan padaku lagu rock’n roll, aku masih seperti memandangi ombak yang bergerak dalam teksturnya yang tidak rapi, tapi morat-marit. Namun itulah hidup, kita-kita yang masih dikaruniai otak dan tensi darah yang stabil, tak kan pernah bisa menjalani sesuatu dengan rapi tanpa cela. Dari kemorat-maritan itu konon justru akan terlihat, sejauh mana kita diuji untuk makin lebih mengenal kesejatian. “Ah, masaaaakkkk?” Aku jadi ingat iklan Bentoel Sejati, rokok idolaku 5 tahun silam. Hehehe...
Banyak kebobrokan manusia, dari tingkat birokrat, pejabat, orang biasa, bahkan pemuka agama, yang tanpa sadar membantu kita untuk belajar. Paling tidak mengenali sejak dini, apa yang dirasa paling positif. Yang sudah diset rapi saja bisa meleset, apalagi yang dijalankan begitu saja tanpa komitmen. Ah, apa lah artinya komitmen? Dalam waktu sedetik pikiran manusia bisa berubah. Janji bisa hancur dalam sedetik juga. Terus apa? “Itu hanya soal mind-set”, kata temanku. “Kalau kamu menganggap selingkuh itu hal biasa ya jadinya tetap biasa. Kalau itu dosa ya dosa,” lanjutnya lagi. “Oh, begitu, ya? Oke dech.”
Kawan, saat ini aku masih menyelesaikan membaca buku berjudul “Centhini, Kekasih yang Tersembunyi” (Elisabeth Inandiak: 2008). Buku ini adalah syair-syair kisah asmara yang begitu indah, di tengah konflik latar politik dan penyebaran Agama di abad 13 tahun Jawa. Tetapi mungkin, bagi yang tidak suka sastra, semua itu menjadi biasa, tidak indah lagi. Itulah kenapa selera orang akan seni bisa menjadi berbeda. Seleraku dan kamu juga beda, kawan. Aku kopi tubruk kamu es teh.
“Mari kita berfoto bersama, sebentar saja. Mumpung di sini.”
“Nanti aja...aku mau merekam laguku dulu. Ini lagu yang kubuat ketika masa SMA.”
“Oke dech...semoga bumi masih muter. Kalau sudah nggak muter nanti kita puter sendiri...”
Yah, beginilah. Pantaiku yang kecil. Pantai yang selalu ramah sebelum tsunami. Tapi mengkhawatirkan saat genset mati kehabisan daya. Dari selingkar hidup yang belakangan digoyang-goyang kegelisahan yang tak berujung. Gusti Allah say to me: “Penak tenan kowe ngrencanakke uripmu dewe, tanpo nglibatke aku? Yo tontonen dewe akibate” (Enak saja kamu merencanakan hidupmu sendiri tanpa melibatkan aku? Ya lihat saja sendiri akibatnya!). Rencana yang sudah diatur timik-timik, rapi, ternyata luput semua. Hancur seketika. Musnah ditelan sesuatu yang tak pernah terduga. Siklus hidup ini seperti teka-teki, kawan! Kalau lagu-lagu pop zaman sekarang mudah ditebak melodi dan akornya bakal lari ke mana, dalam electronic music kamu akan dibuat pusing oleh frekuensi! Misalnya ketika sahabatku Tony Maryana kutanya:
“Buat apa kamu belajar musik aneh-aneh seperti ini: c-sound, pure data, dan seterusnya?”
“Asyik aja, seperti belajar matematika. Ini permainan logika!”
“Oh, jadi musik ada hubungannya dengan logika, ya?”
“Yoi coy...muacchhh...”
“Hahahha....”
**
Langit berubah redup.
Lembayung makin manja.
Ada batu besar yang berlapis kayu.
Mungkin itu dulunya perahu karam dari nelayan abad silam.
Ah, tapi kita harus pulang sebelum gelap.
Lain kali kita berkunjung lagi ke sini, kawan!
Dan aku malah makin nggak ngerti, aku ini barusan nulis apa???
Embuuuhhhhhh.....
at Pantai Indrayanti
Rabu, 8 Juli 2010
Keheningan Cinta Neruda
Menyelami puisi-puisi cinta Pablo Neruda ini kita seperti diajak menikmati kesahajaan dan kelembutan, sekaligus ketangguhan yang tak berpihak pada apa pun, kecuali estetika mendalam pada puisi. Karya-karyanya mengalir tanpa tekanan. Pablo meramu irama, menahan nafas, merenung, lalu menghembuskannya seperti tanpa berpikir, tetapi sesungguhnya ia paling mengerti apa makna puisi.
Buku yang asalnya diterbitkan dengan judul Cien sonetos de Amor (Spanyol, 1960) ini kini tengah hadir di hadapan pembaca karena telah disulih ke dalam bahasa Indonesia. Ada empat babakan termaktub dalam Ciuman Hujan: Seratus Soneta Cinta Pablo Neruda (2009) ini. Pagi, siang, senja, malam. Seakan melukiskan pergulatannya tanpa henti pada puisi, seperti tampak juga dalam karya-karyanya yang lain.
Tia Setiadi, si penyulih menulis, bahwa puisi Neruda lebih dekat ke nafiri kejujuran tanpa pretensi, kerendahan hati dan senandung rasa syukur yang tulus pada kemahaluasan hidup. Puisi semacam ini bisa dipadankan dengan kejernihan dan kepadatan kristal-kristal batuan yang dinafasi oleh tenaga hidup atau denyar-denyar asmara, sehingga berbinar-binar, bagaikan vibrasi gelombang cahaya. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah langkah-langkah kecil menuju keindahan. Semua itu terinspirasi dari peristiwa-peristiwa biasa dalam keseharian.
Sudah tentu, sebagai karya terjemahan, baris-baris yang tersaji dalam buku ini pasti menampakkan—setidaknya—kekeliruan tafsir dalam beberapa sisi yang tak diketahui begitu saja—Dan, pilihan-pilihan kata yang terkesan subyektif nyaris seperti memerangkap keintiman pembaca dalam bayang-bayang penerjemahnya. Diakui Tia Setiadi itu sulit. Menerjemah seperti halnya membuat puisi. Itu wajar, karena sudah tak mungkin membangunkan Neruda untuk diajak berdialog tentang puisi-puisinya ini.
Pablo Neruda, yang pernah menjadi Duta Besar Chili di Perancis—dan pada tahun 1970 pernah dicalonkan menjadi presiden Chili tapi urung ini, sering disebut-sebut sebagai penyair terbesar Amerika Latin. Neruda meraih pelbagai penghargaan internasional, di antaranya: International Peace Prize (1950), The Lenin Peace Prize dan The Stalin Peace Priza (1953) dan The Nobel Prize for Literature (1971), sampai akhirnya ia wafat September 1973 karena leukemia. Ia sempat bermukim pula di Indonesia untuk beberapa saat. Neruda juga sempat menulis ode untuk Stalin karena kekagumannya pada Uni Soviet.
Neruda jelas tak sekadar sastrawan yang diam dan merenung seharian di dalam kamar. Dari pernghargaan yang diraihnya, kiranya tidak berlebihan jika ia disebut pejuang kemanusiaan dan perdamaian. Berkobarnya Perang Saudara Spanyol menjadi arus balik dalam kehidupan Neruda yang tadinya individualis menjadi seorang aktivis dengan komitmen sosial dan solidaritas yang tinggi. Mau tidak mau, debutnya sebagai sastrawan lantas selalu dibarengi aktivitas politik.
Tetapi untunglah, Pablo masih menyimpan sisi romantis dan melankolis yang sangat tinggi. Puisi-puisi yang sebetulnya hanya dipersembahkan pada Matilde Urrutia ini adalah oase dari keintimannya bergulat seutuhnya pada manusia dan dunia. Simaklah sepenggal penutup dalam salah satu baris puisinya: sejauh ini, di mana aku tak ada, kau juga tak ada/ begitu dekat sehingga tanganmu yang di dadaku tak lain tanganku/ begitu dekat sehingga ketika aku tidur seolah matamulah yang terpejam. Duh, romantisnya.
Ayo Berperang Melawan Kebisingan
Apa masalah manusia sekarang selain krisis kepemimpinan? Adalah kebisingan. Ini memprihatinkan dan harus segera mendapat perhatian. Ini masalah besar yang harus segera diatasi. Bayangkan saja, berapa ratus kendaraan bermotor dengan bunyinya yang berlalu lalang setiap hari. Orang lebih mempermasalahkan polusi udara daripada bunyi (bising)-nya, karena apa yang terjadi di telinga umumnya tidak disadari. Lewat begitu saja. Tetapi ternyata, kualitas pendengaran manusia turun dari hari ke hari. Sekitar 5200 bayi Indonesia lahir tuli. Inilah masalah biologis manusia sekarang, di tengah kebobrokan politik dan pemerintahan yang makin tak bisa dipercaya.
Faktanya, pada tahun 2000 WHO melaporkan bahwa penduduk dunia yang menderita gangguan pendengaran adalah 250 juta orang (4,2 %); separuhnya di Asia Temggara 75-140 juta dengan data ketulian 4,6 %, termasuk Indonesia; bayi lahir tuli (kesulitan komunikasi) sejumlah 0,1 – 0,2 %.
Apa penyebab kebisingan? Kemajuan teknologi sebagai tanda zaman berperan besar menjadi penyebab kebisingan ini. Transportasi darat, laut, udara, mesin-mesin berat pembuat jalan, bangunan, industri, sampai peralatan rumah-tangga, pengeras suara (termasuk head-phone). Kondisi keramaian dari gaya hidup orang modern juga menjadi penyebabnya: adanya mal, tempat bemain game, di tempat disko dan pentas musik yang menggelegar—orang memang menikmati bunyinya, tetapi tanpa sadar energi mereka terkuras habis, dan kualitas pendengaran mereka berkurang dari waktu ke waktu. Makanya, kita sering mendengar semua kata yang disampaikan orang, tetapi kadang-kadang tak mengerti maksudnya.
Masalah kebisingan tak cukup biologis saja, tetapi juga bisa mengakibatkan penderitaan psikologis, ekonomis, terganggunya jaringan syaraf, metabolisme tubuh dan bahkan kejiwaan. Sebuah bandara di Indonesia yang konon paling megah dan beraksitektur “bagus” ternyata tidak didukung akustik yang memadai. Akibatnya, ketika speaker berbunyi memberi informasi jam keberangkatan pesawat, bunyinya terasa menggaung tidak jelas. Lantas banyak penumpang yang ketinggalan pesawat. Orang Indonesia masih memperhatikan visual daripada auditif. Masih suka yang nampak daripada yang tak tampak.
Masalah ini umumnya memang tidak disadari, bukan karena orang menganggap remeh, tetapi karena mereka tidak tahu dampak dan akibat dari bunyi-bunyi yang saban hari menyerang kita itu. Banyak bunyi di sekitar yang melebihi batasan kemampuan mendengar kita. Lumrahnya, ketika anak-anak dapat menangkap bunyi 16Htz – 30.000Htz, pendengaran orang dewasa menurun menjadi 16Htz – 20.000 Htz. Itu yang normal, tetapi perjalanan manusia dan bunyi selalu ada unsur tak terduga.
Fakta ribuan bayi yang lahir tuli mengakibatkan beban keluarga, masyarakat dan bangsa yang akut. Tanpa kita sadari ternyata banyak anak yang telah menderita gangguan pendengaran. Suatu kelainan sangat berat. Karena desakan beberapa orang yang peduli masalah ini, maka dibentuklah Komnas PGPKT (Pencegahan Gangguan Pendengaran dan Ketulisan), sebuah LSM yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan RI 2007 untuk menunjang program WHO Sound Hearing 2030 (www.ketulian.com, seperti tercantum di Majalah Bhinneka 2009).
WHO memang tengah menyasar Program 2030, yang isinya sampai tahun 2015 adalah penurunan 50% maksimal sisa penderita; dan tahun 2030 penurunan maksimal sisa penderita.
Pada Januari 2010, Akademi Jakarta, sebuah organisasi para cendekiawan, mengadakan Rapat Kerja Mengatasi Polusi Kebisingan yang dipelopori oleh komponis senior Indonesia Slamet A. Sjukur. Dalam rapat itu dibahas dampak dan solusi masalah ini. Hadir beberapa ahli lintas disiplin seperti pakar THT, neurologi, akustik-lingkungan, psikologi, dan hukum—yang antara lain hadir dalam forum terbatas itu: Ahmad Syafii Ma’arif, Sugianto, Abduh Aziz, Soe Tjen Marching, dan seterusnya.
“Ini sebetulnya mudah diatasi, cuma dari dulu kita belum mengerti bagaimana mengatasinya,” ujar Slamet A. Sjukur dalam wawancara terbatas dengan penulis di Yogyakarta Februari lalu.
Jika kita pergi ke toko bangunan, ada sebuah alat seperti head-phone yang dibuat khusus untuk orang-orang proyek. Fungsinya sebagai alat peredam bunyi lingkungan yang bising. Sehingga ketika kita memakai alat itu, volume bunyi sekitar menjadi jauh lebih kecil, telinga kita tidak terganggu.
Solusi konkrit lain dari masalah ini memang tidak begitu saja menjadi usaha yang langsung “menyembuhkan”—tetapi setidaknya masyarakat kita bisa lebih memiliki perhatian mendalam dan kategorisasi terhadap bunyi bising.
Ayo perangi kebisingan, ciptakan kedamaian di telinga!