Menyelami puisi-puisi cinta Pablo Neruda ini kita seperti diajak menikmati kesahajaan dan kelembutan, sekaligus ketangguhan yang tak berpihak pada apa pun, kecuali estetika mendalam pada puisi. Karya-karyanya mengalir tanpa tekanan. Pablo meramu irama, menahan nafas, merenung, lalu menghembuskannya seperti tanpa berpikir, tetapi sesungguhnya ia paling mengerti apa makna puisi.
Buku yang asalnya diterbitkan dengan judul Cien sonetos de Amor (Spanyol, 1960) ini kini tengah hadir di hadapan pembaca karena telah disulih ke dalam bahasa Indonesia. Ada empat babakan termaktub dalam Ciuman Hujan: Seratus Soneta Cinta Pablo Neruda (2009) ini. Pagi, siang, senja, malam. Seakan melukiskan pergulatannya tanpa henti pada puisi, seperti tampak juga dalam karya-karyanya yang lain.
Tia Setiadi, si penyulih menulis, bahwa puisi Neruda lebih dekat ke nafiri kejujuran tanpa pretensi, kerendahan hati dan senandung rasa syukur yang tulus pada kemahaluasan hidup. Puisi semacam ini bisa dipadankan dengan kejernihan dan kepadatan kristal-kristal batuan yang dinafasi oleh tenaga hidup atau denyar-denyar asmara, sehingga berbinar-binar, bagaikan vibrasi gelombang cahaya. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah langkah-langkah kecil menuju keindahan. Semua itu terinspirasi dari peristiwa-peristiwa biasa dalam keseharian.
Sudah tentu, sebagai karya terjemahan, baris-baris yang tersaji dalam buku ini pasti menampakkan—setidaknya—kekeliruan tafsir dalam beberapa sisi yang tak diketahui begitu saja—Dan, pilihan-pilihan kata yang terkesan subyektif nyaris seperti memerangkap keintiman pembaca dalam bayang-bayang penerjemahnya. Diakui Tia Setiadi itu sulit. Menerjemah seperti halnya membuat puisi. Itu wajar, karena sudah tak mungkin membangunkan Neruda untuk diajak berdialog tentang puisi-puisinya ini.
Pablo Neruda, yang pernah menjadi Duta Besar Chili di Perancis—dan pada tahun 1970 pernah dicalonkan menjadi presiden Chili tapi urung ini, sering disebut-sebut sebagai penyair terbesar Amerika Latin. Neruda meraih pelbagai penghargaan internasional, di antaranya: International Peace Prize (1950), The Lenin Peace Prize dan The Stalin Peace Priza (1953) dan The Nobel Prize for Literature (1971), sampai akhirnya ia wafat September 1973 karena leukemia. Ia sempat bermukim pula di Indonesia untuk beberapa saat. Neruda juga sempat menulis ode untuk Stalin karena kekagumannya pada Uni Soviet.
Neruda jelas tak sekadar sastrawan yang diam dan merenung seharian di dalam kamar. Dari pernghargaan yang diraihnya, kiranya tidak berlebihan jika ia disebut pejuang kemanusiaan dan perdamaian. Berkobarnya Perang Saudara Spanyol menjadi arus balik dalam kehidupan Neruda yang tadinya individualis menjadi seorang aktivis dengan komitmen sosial dan solidaritas yang tinggi. Mau tidak mau, debutnya sebagai sastrawan lantas selalu dibarengi aktivitas politik.
Tetapi untunglah, Pablo masih menyimpan sisi romantis dan melankolis yang sangat tinggi. Puisi-puisi yang sebetulnya hanya dipersembahkan pada Matilde Urrutia ini adalah oase dari keintimannya bergulat seutuhnya pada manusia dan dunia. Simaklah sepenggal penutup dalam salah satu baris puisinya: sejauh ini, di mana aku tak ada, kau juga tak ada/ begitu dekat sehingga tanganmu yang di dadaku tak lain tanganku/ begitu dekat sehingga ketika aku tidur seolah matamulah yang terpejam. Duh, romantisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar