Apa masalah manusia sekarang selain krisis kepemimpinan? Adalah kebisingan. Ini memprihatinkan dan harus segera mendapat perhatian. Ini masalah besar yang harus segera diatasi. Bayangkan saja, berapa ratus kendaraan bermotor dengan bunyinya yang berlalu lalang setiap hari. Orang lebih mempermasalahkan polusi udara daripada bunyi (bising)-nya, karena apa yang terjadi di telinga umumnya tidak disadari. Lewat begitu saja. Tetapi ternyata, kualitas pendengaran manusia turun dari hari ke hari. Sekitar 5200 bayi Indonesia lahir tuli. Inilah masalah biologis manusia sekarang, di tengah kebobrokan politik dan pemerintahan yang makin tak bisa dipercaya.
Faktanya, pada tahun 2000 WHO melaporkan bahwa penduduk dunia yang menderita gangguan pendengaran adalah 250 juta orang (4,2 %); separuhnya di Asia Temggara 75-140 juta dengan data ketulian 4,6 %, termasuk Indonesia; bayi lahir tuli (kesulitan komunikasi) sejumlah 0,1 – 0,2 %.
Apa penyebab kebisingan? Kemajuan teknologi sebagai tanda zaman berperan besar menjadi penyebab kebisingan ini. Transportasi darat, laut, udara, mesin-mesin berat pembuat jalan, bangunan, industri, sampai peralatan rumah-tangga, pengeras suara (termasuk head-phone). Kondisi keramaian dari gaya hidup orang modern juga menjadi penyebabnya: adanya mal, tempat bemain game, di tempat disko dan pentas musik yang menggelegar—orang memang menikmati bunyinya, tetapi tanpa sadar energi mereka terkuras habis, dan kualitas pendengaran mereka berkurang dari waktu ke waktu. Makanya, kita sering mendengar semua kata yang disampaikan orang, tetapi kadang-kadang tak mengerti maksudnya.
Masalah kebisingan tak cukup biologis saja, tetapi juga bisa mengakibatkan penderitaan psikologis, ekonomis, terganggunya jaringan syaraf, metabolisme tubuh dan bahkan kejiwaan. Sebuah bandara di Indonesia yang konon paling megah dan beraksitektur “bagus” ternyata tidak didukung akustik yang memadai. Akibatnya, ketika speaker berbunyi memberi informasi jam keberangkatan pesawat, bunyinya terasa menggaung tidak jelas. Lantas banyak penumpang yang ketinggalan pesawat. Orang Indonesia masih memperhatikan visual daripada auditif. Masih suka yang nampak daripada yang tak tampak.
Masalah ini umumnya memang tidak disadari, bukan karena orang menganggap remeh, tetapi karena mereka tidak tahu dampak dan akibat dari bunyi-bunyi yang saban hari menyerang kita itu. Banyak bunyi di sekitar yang melebihi batasan kemampuan mendengar kita. Lumrahnya, ketika anak-anak dapat menangkap bunyi 16Htz – 30.000Htz, pendengaran orang dewasa menurun menjadi 16Htz – 20.000 Htz. Itu yang normal, tetapi perjalanan manusia dan bunyi selalu ada unsur tak terduga.
Fakta ribuan bayi yang lahir tuli mengakibatkan beban keluarga, masyarakat dan bangsa yang akut. Tanpa kita sadari ternyata banyak anak yang telah menderita gangguan pendengaran. Suatu kelainan sangat berat. Karena desakan beberapa orang yang peduli masalah ini, maka dibentuklah Komnas PGPKT (Pencegahan Gangguan Pendengaran dan Ketulisan), sebuah LSM yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan RI 2007 untuk menunjang program WHO Sound Hearing 2030 (www.ketulian.com, seperti tercantum di Majalah Bhinneka 2009).
WHO memang tengah menyasar Program 2030, yang isinya sampai tahun 2015 adalah penurunan 50% maksimal sisa penderita; dan tahun 2030 penurunan maksimal sisa penderita.
Pada Januari 2010, Akademi Jakarta, sebuah organisasi para cendekiawan, mengadakan Rapat Kerja Mengatasi Polusi Kebisingan yang dipelopori oleh komponis senior Indonesia Slamet A. Sjukur. Dalam rapat itu dibahas dampak dan solusi masalah ini. Hadir beberapa ahli lintas disiplin seperti pakar THT, neurologi, akustik-lingkungan, psikologi, dan hukum—yang antara lain hadir dalam forum terbatas itu: Ahmad Syafii Ma’arif, Sugianto, Abduh Aziz, Soe Tjen Marching, dan seterusnya.
“Ini sebetulnya mudah diatasi, cuma dari dulu kita belum mengerti bagaimana mengatasinya,” ujar Slamet A. Sjukur dalam wawancara terbatas dengan penulis di Yogyakarta Februari lalu.
Jika kita pergi ke toko bangunan, ada sebuah alat seperti head-phone yang dibuat khusus untuk orang-orang proyek. Fungsinya sebagai alat peredam bunyi lingkungan yang bising. Sehingga ketika kita memakai alat itu, volume bunyi sekitar menjadi jauh lebih kecil, telinga kita tidak terganggu.
Solusi konkrit lain dari masalah ini memang tidak begitu saja menjadi usaha yang langsung “menyembuhkan”—tetapi setidaknya masyarakat kita bisa lebih memiliki perhatian mendalam dan kategorisasi terhadap bunyi bising.
Ayo perangi kebisingan, ciptakan kedamaian di telinga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar