“Kawan, kamu mengenalkanku dengan rock’n roll masa kini, yang seketika menghanyutkanku dalam memori 90-an. Aku kagum, lagumu sangat bagus, dan orang sepertimu tak akan frustasi karena cinta. Karena semua kekesalan hati akibat putus cinta berakhir di lagu, bukan di baygon.”
Coretan ngawur ini kutujukan pada siapa pun yang menyelami kedalaman dengan tenang. Tanpa peduli takut. Itulah kesejatian. Dan musik, selalu mencoba membantu kita untuk tegar.
Dari pantai inilah rahasia tertulis. Pasir-pasir yang masih tersisa di celanaku adalah serpihan semangat, yang datang darimu: para pejalan yang tangguh.
**
Tetapi kawan, kupingku masih sulit mendengar, mana yang paling aman buat gendang telingaku saat ini. Hari ini aku dengar rock’n roll, besok keroncong, lusa uyon-uyon, the day after lusa aku dengar pop cengeng, next week aku suntuk dengan world music dari belahan dunia mana pun, dan sebagainya. Belum lagi telinga yang sedemikian terbuka untuk disco, rap, kontemporer, jazz, lagu-lagu gereja, dan...”Oh ya? Apa kabarmu Dedet yang membisikkan di telingaku growl Fanatik Buta yang ekstrim dari grup Hard Core nomor satu di Jogja, Something Wrong. Hehehe...”
Makanya, kawan, ketika kamu mendengarkan padaku lagu rock’n roll, aku masih seperti memandangi ombak yang bergerak dalam teksturnya yang tidak rapi, tapi morat-marit. Namun itulah hidup, kita-kita yang masih dikaruniai otak dan tensi darah yang stabil, tak kan pernah bisa menjalani sesuatu dengan rapi tanpa cela. Dari kemorat-maritan itu konon justru akan terlihat, sejauh mana kita diuji untuk makin lebih mengenal kesejatian. “Ah, masaaaakkkk?” Aku jadi ingat iklan Bentoel Sejati, rokok idolaku 5 tahun silam. Hehehe...
Banyak kebobrokan manusia, dari tingkat birokrat, pejabat, orang biasa, bahkan pemuka agama, yang tanpa sadar membantu kita untuk belajar. Paling tidak mengenali sejak dini, apa yang dirasa paling positif. Yang sudah diset rapi saja bisa meleset, apalagi yang dijalankan begitu saja tanpa komitmen. Ah, apa lah artinya komitmen? Dalam waktu sedetik pikiran manusia bisa berubah. Janji bisa hancur dalam sedetik juga. Terus apa? “Itu hanya soal mind-set”, kata temanku. “Kalau kamu menganggap selingkuh itu hal biasa ya jadinya tetap biasa. Kalau itu dosa ya dosa,” lanjutnya lagi. “Oh, begitu, ya? Oke dech.”
Kawan, saat ini aku masih menyelesaikan membaca buku berjudul “Centhini, Kekasih yang Tersembunyi” (Elisabeth Inandiak: 2008). Buku ini adalah syair-syair kisah asmara yang begitu indah, di tengah konflik latar politik dan penyebaran Agama di abad 13 tahun Jawa. Tetapi mungkin, bagi yang tidak suka sastra, semua itu menjadi biasa, tidak indah lagi. Itulah kenapa selera orang akan seni bisa menjadi berbeda. Seleraku dan kamu juga beda, kawan. Aku kopi tubruk kamu es teh.
“Mari kita berfoto bersama, sebentar saja. Mumpung di sini.”
“Nanti aja...aku mau merekam laguku dulu. Ini lagu yang kubuat ketika masa SMA.”
“Oke dech...semoga bumi masih muter. Kalau sudah nggak muter nanti kita puter sendiri...”
Yah, beginilah. Pantaiku yang kecil. Pantai yang selalu ramah sebelum tsunami. Tapi mengkhawatirkan saat genset mati kehabisan daya. Dari selingkar hidup yang belakangan digoyang-goyang kegelisahan yang tak berujung. Gusti Allah say to me: “Penak tenan kowe ngrencanakke uripmu dewe, tanpo nglibatke aku? Yo tontonen dewe akibate” (Enak saja kamu merencanakan hidupmu sendiri tanpa melibatkan aku? Ya lihat saja sendiri akibatnya!). Rencana yang sudah diatur timik-timik, rapi, ternyata luput semua. Hancur seketika. Musnah ditelan sesuatu yang tak pernah terduga. Siklus hidup ini seperti teka-teki, kawan! Kalau lagu-lagu pop zaman sekarang mudah ditebak melodi dan akornya bakal lari ke mana, dalam electronic music kamu akan dibuat pusing oleh frekuensi! Misalnya ketika sahabatku Tony Maryana kutanya:
“Buat apa kamu belajar musik aneh-aneh seperti ini: c-sound, pure data, dan seterusnya?”
“Asyik aja, seperti belajar matematika. Ini permainan logika!”
“Oh, jadi musik ada hubungannya dengan logika, ya?”
“Yoi coy...muacchhh...”
“Hahahha....”
**
Langit berubah redup.
Lembayung makin manja.
Ada batu besar yang berlapis kayu.
Mungkin itu dulunya perahu karam dari nelayan abad silam.
Ah, tapi kita harus pulang sebelum gelap.
Lain kali kita berkunjung lagi ke sini, kawan!
Dan aku malah makin nggak ngerti, aku ini barusan nulis apa???
Embuuuhhhhhh.....
at Pantai Indrayanti
Rabu, 8 Juli 2010