Setelah homophonik Renaisans, matematika Barok, monoton-isme Klasik, individuasi Romantik, demokratisasi Modern, dan sekarang mau disebut post-modern atau post-musik, atau segenap arus inter-kultural lainnya (world music), adalah pencapaian dari sebuah lanskap bernama zaman. Musik adalah penumpang di atas badik itu. Dalam pusaran arus itu pula, manusia Barat makin hari makin cerdas dan melakukan banyak penemuan.
500 tahun silam hingga kini, perjalanan musik memang telah dikuasai oleh yang kini ngetren disebut instrumentalia! Sejarahnya sudah lama, seperti ketika kita membaca lembaran sejarah penempatan teks dalam sebuah tulisan (lipsum), yang mulai muncul di tahun 1500-an. Dan, oleh sebab itu bicara tentang instrumental sudah bukan kejutan lagi. Maka, jika telinga orang zaman ini masih heran dengan musik instrumental dan kebingungan karenanya, itu sungguh aneh. Jika orang masih asing dengan musik kontemporer dan menganggapnya rumit, itu juga semakin menambah ruwet.
Cobalah datangi Sekaten, ritual besar dalam rangka Maulid Nabi itu. Bunyi-bunyian di sekitarnya (campuran bunyi dermolem, sepur kelinci, tong stand, kodok-kodok’an, pecut, arum manis, dsb), jauh lebih kompleks. Bolehlah, bahasa musikologisnya disebut multi-layer, bisa juga poli-texture tanpa konsesi. Hal ini bukan karena ketidak-tahuan orang akan adanya informasi, atau tidak ada yang menginformasikannya. Tetapi, sebaiknya kita harus kembali lagi ke pertanyaan dasar: bukankah makna soundscape yang setiap hari mengepung kita selalu berpesan “bebaskan bunyi dari makna” (seperti ketika kita mendengar tulalit es walls, susu murni nasional, siomay, sari roti, dsb). Dalam musik, kadang-kadang hal semiotis dirasa mengganggu, karena itu tidak membebaskan orang terhadap sumber bunyi yang dikonstruk. Makanya, ilmu semiotika tidak selamanya universal dalam konteks musik.
Sumber bunyi sudah habis?
Mungkin semua sumber bunyi abad ini sudah habis (ingat juga bahwa “diam”-nya John Cage adalah juga karena kejenuhan akan sumber), juga wacana akan silence yang lantas muncul sesudahnya. Kita juga bisa belajar dari musik India (Nada Brahma), yang “hubungan”-nya tak sesederhana antara musik dan emosi manusia saja, tetapi sampai ke masalah sains modern: kosmologi, morfologi, biologi, mitologi, fisika, dan sebagainya, yang sudah benar-benar terhubung menjadi satu kesatuan yang tidak tunggal lagi (Joachim-Ernst Berendt, 1987).
Maka yang ada sekarang hanyalah “mengulang dan mengulang.” Belum nampak kejutan baru seperti, jika dalam dunia lukis, adalah goresannya pelukis Hanafi: gelap, lebar, hanya ditempeli sebatang rokok di ujungnya, tetapi menyiratkan aroma mistik yang mengejutkan (kunjungi pameran 2nd Odyssey di Galeri Sri Sasanti Jogja), atau kejutan Sutardji Calzoum Bachri yang membebaskan makna dari kata-kata itu. Bagi Tardji, “cidi bibi tai” itu tak masalah: tetapi konsonan “i” menjadi eksotisme daya ungkap yang fantastis.
Agak geli juga melihat judul karya Slamet Sjukur untuk Yogyakarta Contemporary Music Festival 2009 kali ini: The Source: Where the sound returns. Mungkin bisa juga: return to sound meaning, atau apalah, yang jelas, di kepala “Mas Slamet” yang usianya sudah 70-an itu, dunia “bunyi” adalah sudah sebagai dunia yang membingungkannya. Aku sedikit iseng menggantinya dengan, misalnya “Mas Slamet” seorang Sastrawan, adalah pasti ia akan bilang: where the words return.
Nah, inilah. Dari dulu kita tidak biasa dengan istilah “musik kontekstual,” sementara dunia sastra kita pernah mengalami perdebatan panjang tentang “sastra kontekstual” pada dekade 1980-an (misalnya, baca novel tetralogi “Pulau Buru”nya Pramoedya Ananta Toer). Ini tentu menarik, pencerahan bagi dunia sastra masa itu. Sastrawan tidak bisa egois menikmati karyanya sendirian di kamar. Keberadaannya adalah bersatu dengan masyarakat dan ada di selingkar permasalahannya.
Musisi akademis lebih mengenalnya dengan istilah musik programatik, yang konon hulunya ada dalam The Four Seasons karya Antonio Vivaldi. Di sekitarnya adalah hal-hal ekstra musikal (kontekstual). Makanya, musik itu bicara soal alam, politik, sosial, dan sebagainya). Dalam lanskap populer, kita juga mengenal istilah “tembang balada,” yang mempercayai bahwa musik adalah hubungan erat dan revolutif dari konstruk komunikasi vertikal (misalnya Iwan Fals selalu melawan penguasa dengan lagu-lagunya).
Sudah 30 tahun belakangan ini, musik Barat di Indonesia tak pernah memberikan kejutan-kejutan kontekstual itu. Komponis atau pelakunya terlalu mengungkung diri dalam tafsir yang keliru dari sebuah perjalanan di atas perahu yang bukan miliknya. Dayung itu makin tak mengelak, ketika gerakan dengan ritme terlalu cepat, bisa membawa perahu nyebur ke laut, dan hilang seperti Adam Air.
Teror-teror berkepanjangan
Kita terlalu membawa pikiran-pikiran kita ke hal yang rumit. “Ke mana larinya dua belas nada itu (twelve-tone) itu? Atau, apa sesungguhnya keistimewaan micro-tone, kok kita memilihnya jadi idiom? Apakah tidak mungkin membikin komposisi dengan medium kertas saja? Atau cobalah kita belajar dari “Jazz Gladiator”-nya Sutanto Mendut, salah satu guru dari Magelang yang kukagumi pemikirannya itu.
Hari ini kita membeli dan membaca Alquran dalam ayat yang sama, misalnya. Minggu depan kita janjian untuk bertemu, membicarakan isi ayat itu. Yang keluar dari hasil diskusi bisa saja berbeda, antara aku dan kamu. Bukan pada persoalan baik dan buruk, karena semua ayat tentu baik. Tetapi adalah kepada bagaimana cara aplikasinya. Makanya, misalnya agama Islam di Indonesia ini bisa identik dengan terorisme, dan perpecahan berbagai aliran. Lalu pada akhirnya muncrat banyak darah yang mematikan umat manusia. Belum lagi ternyata Nurdin M. Top juga suka disodomi. Wah..wah..wah…Padahal, mereka, entah Islam kiri atau kanan, tenggara atau barat daya, memegang Alquran yang sama. Bagaimana ini?
Lalu aku bertanya lagi, di mana sumber itu? Ke mana pula musikologis akan pergi? Yang dalam tulisan Sumarsam (Gamelan, 2003) kubaca, bahwa Ki Sindusuwarno maupun Ki Martopangrawit adalah pemegang teguh hubungan antara teori dan rasa. Ini konsep musikologis yang amat penting.
Jangan heran pula, jika Solo International Ethnic Music (SIEM) maupun Solo International Performing Arts (SIPA), yang keduanya diadakan di Solo, bisa didatangi puluhan ribu orang pada setiap malamnya, sementara Yogyakarta Contemporary Music Festival (YCMF) tidak pernah mencapai prestasi massa sebesar itu. Ini karena apa? Jangan bicara kualitas dulu pada masing-masing arena itu, tetapi pada kecerdasan dan keterbukaan akan segenap gejala kontekstual-sosiologis yang mengelilingi dinamika masyarakat Indonesia ini, yang menurut Goenawan Mohamad sudah bukan multi-kultural lagi, tetapi inter-kultural.
Bukan tidak mungkin kita membuka kembali lembaran sejarah musik Indonesia, misalnya dengan mengingat kembali karya Amir Pasaribu yang bicara tentang wayang, atau mempelajari karya lain yang kontekstual, supaya, salah tafsir ini tidak tertahan lama dalam perahu yang rapuh dan kehilangan kendali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar