Sejatinya manusia punya harapan. Dan secara sederhana, harapan itu muncul karena dorongan untuk memiliki, menginginkan, dan mendapatkan sesuatu. Jika harapan itu terwujud, yang dirasa adalah rasa senang sebelum hirau akan sebab akibat sesudahnya. Umpamanya, ketika manusia berharap dirinya kaya, ia akan memperjuangkan diri supaya ia menjadi kaya. Bisa dengan cara bekerja keras, juga bisa dengan cara jahat: misalnya merampok. Yang penting, tujuannya mencapai kekayaan dapat tercapai.
Harapan itu boleh-boleh saja. Tidak ada yang salah atas ini semua. Tetapi sekarang kita perlu bertanya ulang: bagaimana cara kita memanajemeni harapan? Apa yang harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum memutuskan berharap akan sesuatu?
Pelajaran ini akan memberi manfaat kepada kita untuk menepis rasa kecewa. Karena banyak kejadian, ketika manusia berharap terlalu banyak, dan ketika tidak mendapatkan yang ia harapkan, selanjutnya ia kecewa, dan bisa berujung pada frustasi, stres, bahkan celaka naga dan bunuh diri. Sungguh suatu hal yang sangat disayangkan. Oleh sebab itu, harapan juga musti kita kelola dengan pikiran dan perasaan yang baik, supaya sebagai manusia, kita bisa belajar meningkatkan kualitas diri dari hari ke hari, menjadi baik secara fisik dan rohani. Goal dari pelajaran ini sebenarnya adalah: kita tidak diperkenankan berharap terlalu banyak dalam hal apa pun, selain sewajarnya saja, untuk menjauh dari rasa kecewa.
Suatu ketika, cinta di antara sepasang remaja menghasilkan kematian, di suatu daerah, di Tokyo. Alasannya sederhana, cinta yang ditolak. Karena frustasi berkepanjangan, pemuda yang bernama Huang Fan itu sengaja bunuh diri dengan cara meminum racun. Cie Li Fu, gadis yang dikaguminya, betapapun ia tak mencintainya, merasa benar-benar terpukul akibat kejadian itu. Saban hari gadis itu dihantui rasa bersalah berkepanjangan, tak bisa tidur nyenyak karena berpikiran macam-macam. Karena tak sanggup menahan rasa traumatik yang menyiksa batin dan pikirannya, akhirnya si gadis menyusulnya dengan melakukan bunuh diri juga, dengan cara yang sama. Alhasil, keduanya mati.
Cinta menjadi sebuah kata bisu yang hanya melahirkan kematian, bukan keabadian.
Kisah di atas menjadi salah satu contoh “tidak bekerjanya pikiran dan perasaan” dalam rangka memutuskan sesuatu: rasa kecewa menjadi segalanya. Kalaupun cinta adalah sejarah panjang dari hidup manusia, alangkah manusia sesungguhnya bisa belajar dari berbagai macam literatur yang ada. Atau, banyak sekali kisah abadi yang menguatkan manusia karena cinta, yang sesungguhnya intinya adalah kasih, sebuah pertautan antara kesabaran dan kesungguhan, juga rasa saling memiliki dan menghargai demi tujuan mulia. Oleh karenanya, emosi dalam pengertian kemarahan, dengan sendirinya akan menjauh.
Perlunya berpikir “panjang” dan berwawasan luas
Orang yang luas wawasannya, tentu akan berpikir lebih dewasa daripada yang sempit wawasannya. Kedewasaan yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan menimbang kejadian demi kejadian, dan menemukan solusi yang tepat atas setiap permasalahan-permasalahan yang dialami. Orang dewasa (bukan dalam pengertian umur), tidak harus orang pintar atau cerdas. Kedewasaan adalah pembelajaran, atau keterbukaan untuk mengenali hal-hal paling mendasar dari hidup manusia, juga mendalami sebab akibat dari setiap keputusan. Makanya, orang yang sudah tua belum tentu dewasa, begitu juga sebaliknya, orang yang masih remaja juga belum tentu tidak dewasa.
Kalau manusia dipahami sebagai dimensi waktu dan peristiwa, di dalamnya akan termaktub keputusan demi keputusan dalam menentukan hidupnya. Salah satu ciri orang dewasa adalah selalu hati-hati jika bicara. Ia sanggup melihat persoalan secara mendalam dan mengatasinya dengan pikiran jernih, tak pernah bermaksud merugikan orang lain.
Sesungguhnya, pelajaran menepis rasa kecewa ini sangat berhubungan dengan kemampuan mendewasakan diri. Lalu, bagaimana usaha untuk mendewasakan diri? Banyak sekali jalan.
Salah satunya adalah dengan membaca pengetahuan apa saja, terutama psikologi dan humanisme (ilmu-ilmu kemanusiaan) dengan tekun, tanpa berpikir membaca itu bikin ngantuk atau membosankan. Tetapi haruslah berpikir sebaliknya: membaca itu menyenangkan dan ilmu akan bisa diaplikasikan untuk mengatasi masalah-masalah manusia. Penting pula untuk bergaul dan belajar kepada banyak orang, siapa pun itu, tanpa harus menutup diri.
Menjadi psikolog untuk diri kita sendiri
Ilmu psikologi paling menyumbang banyak hal untuk mengatasi persoalan manusia, dari masalah sederhana sampai akut. Psikologi memberikan perhatian yang lebih luas bukan hanya pada tingkatan teori, tetapi juga praktek-praktek yang mampu memperkecil jumlah kematian seseorang yang diakibatkan karena frustasi.
Banyak psikolog atau konsultan yang sungguh-sungguh memahami persoalan hidup, karena sebelumnya mereka pernah mengalaminya dan belajar banyak dari buku-buku. Psikolog jelas bukan peramal, yang hanya melihat persoalan dari “terawang”. Psikolog adalah murni manusia, yang memiliki kemampuan membaca mimik, gestur, sikap, sifat, cara, dan segenap dimensi manusia yang lain. Oleh karenanya, psikolog harus membekali dirinya dengan bermacam ilmu, seperti antropologi, sosiologi, manajemen, agama, dan sebagainya.
Tulisan ini tidak menyarankan untuk bergantung kepada para psikolog yang biaya konsultasinya mahal. Tetapi justru, tulisan ini akan membimbing kita untuk menjadi psikolog, minimal bagi diri kita sendiri. Alias, sebetulnya gampang kok menjadi psikolog! Supaya, ketika menghadapi setiap permasalahan, pikiran kita menjadi lebih terbuka dan sanggup mengatasi semuanya dengan gembira, tanpa ada kerugian fisik atau batin yang diakibatkan karena masalah itu.
Harapan yang sewajarnya
Nah, kembali kepada harapan. Ada sebuah pertanyaan: bagaimana harapan yang sewajarnya itu? Apa ukuran untuk menentukan bahwa kita sudah netral, atau berharap sewajarnya tadi?
Contoh sederhana adalah mengharapkan perhatian dari orang lain. Apakah itu wajar? Dalam terminologi urban-modern, dikenal istilah “caper” atau cari perhatian. Apa maknanya? Apakah manusia tidak boleh berharap untuk mendapatkan perhatian, dari teman, adik, sahabat, kakak, orang tua, pacar, orang tak dikenal, dan sebagainya. Boleh-boleh saja. Akan tetapi, sejauh mana yang kita harapkan itu sebelumnya juga harus jelas terlebih dahulu.
Misalnya, ketika sebelum kerja kita berharap dikirimi sms yang isinya: “Met pagi. Met kerja. Hati-hati ya..jaga diri baik-baik jangan lupa makan.”—itu sesungguhnya hal yang sangat wajar. Tetapi ternyata, harapan kita itu tidak terkabul, alias, orang yang kita harapkan akan mengirimi sms itu ternyata malah nggak ngirimin. Apa yang terjadi? Kita kecewa karenanya.
Nah, sesudah itu, ketika di perjalanan menuju kantor, kita justru tidak memikirkan jalan, tetapi memikirkan kekecewaan tadi, karena harapan kita tidak terkabul. Konsentrasi mengendarai motor jadi hilang. Akibatnya, ada sebuah kejadian kecelakaan yang mengakibatkan kita jatuh dari motor karena kondisi pikiran kita blank seketika.
Nah...dalam kasus ini, harapan telah berubah menjadi kekecewaan, dan kekecewaan telah berubah lagi menjadi celaka, karena kita berharap orang lain ikut menyelamatkan kita dengan kata: “hati hati ya...” tetapi kita sendiri tidak punya kekuatan untuk menjaga diri kita sendiri tanpa bergantung dari perhatian orang lain. Kita lantas menyalahkan orang yang tidak mengirimi sms tadi: “Gara-gara kamu nggak ngirimi sms aku jadi kecelakaan!”
Hmmm....coba kita coba bedah masalah ini pelan-pelan.
Kita akan melihat dari sudut “si pengirim sms” dan sudut “yang dikirimi sms”. Sebelumnya kita harus paham posisi keduanya, tanpa berpikir pembicaraan ini terjadi antara teman, sahabat, atau pacar. Yang jelas pembicaraan ini adalah antara manusia dan manusia, bukan setan dan setan, atau jin dan jin, atau demit dan demit, atau warok dan iblis, atau nyi roro kidul dan mbah jogo. Bukan itu. Ini hanyalah manusia antara manusia.
Kasus di atas jelas menunjukkan, si pengharap terlalu percaya bahwa kata-kata punya kekuatan lebih besar dari kemampuan manusia sesungguhnya yang mandiri. Si pengharap terlalu percaya intensnya komunikasi lewat hand-phone akan menunjukkan kualitas dan keselamatan. Si pengharap terlalu percaya bahwa ungkapan “hati-hati ya..” menjadi bagian penting yang rasanya mutlak untuk dibaca, dicermati dan ditafsirkan. Si pengharap terlalu kacau pikirannya, kerena ia sesungguhnya tidak memahami hal yang paling mendasar dari unsur komunikasi antar manusia: yaitu kesabaran, kerendah hatian dan menerima apa adanya.
Mustinya, jika si pengharap tadi berwawasan luas, dewasa dan berpikir panjang, yang ada di kepalanya tentu berpikir lain, apakah si pengirim sms tadi tengah sibuk, sehingga tak sempat memberi “perhatian”. Ataukah pulsa si pengirim sms tadi habis, sehingga tak bisa mengirim sms. Ataukah si pengirim sms tadi tengah lupa, karena ia sedang memikirkan hal lain yang menurutnya lebih penting daripada sekadar kebiasaan mengirim sms kepada temannya. Ataukah, yang paling mendasar, si penerima sms mustinya tidak boleh berharap apa pun kepada si pengirim sms, kalau isinya hanya sekadar kebiasaan yang tidak benar-benar memberikan informasi yang penting untuk dijadikan bekal selama perjalanan. Jadinya, sesungguhnya si penerima sms kudu mandiri, dan tidak memiliki kebergantungan terhadap perhatian-perhatian orang lain.
Refleksi diri setiap hari
Selanjutnya adalah proses refleksi diri, bahwa yang paling penting dari ini semua, adalah sewajarnya kita manusia membentengi diri dan mengoptimalkan kemampuan-kemampuan diri dengan memanajemeni harapan dengan wawasan luas. Bukan berarti perhatian orang lain tidak kita butuhkan. Itu tetap perlu. Tetapi sebelumnya, yang lebih penting adlah kita harus makin optimal “memperhatikan diri kita sendiri dulu” dengan optimal, sebelum berharap orang lain memperhatikan kita. Sudahkah hal itu dilakukan?
Hmmm....tentu saja kita tidak ingin mengkoleksi rasa kecewa sampai terkumpul satu almari.
Solo, 24 Januari 2010
2 komentar:
Salam super, Pak Erie Teguh. Terima kasih pencerahannya, Pak Motivator. Hidup saya kembali berarti.
Sama-sama. Salam Snaper...
Posting Komentar