Rabu, 09 Desember 2009
tunggu dan tunggu
jogja
9 des 2009
sehabis listrik di sana konslet
Kamis, 03 Desember 2009
Sriwijaya Air Masuk Kampung
Take off dari jalan protokol di depan Pasar Gede Solo. Pilotnya lalu membawaku memasuki kampung-kampung. Seperti hendak menabrak rumah tapi gagal. Sempat sedikit melewati semacam kamp militer di daerah “entah.” Berhenti sebentar di situ, aku jalan-jalan di pasar malam. Ada sebuah stan buku bertuliskan “Dewan Kesenian”. Setiap hari stand itu membagikan buku-buku diskon. Bahkan, buku-buku yang bagus pun dijual dengan harga sangat murah: 7000 rupiah. Aku nggak ngerti, apa arti mimpi ini... Sriwijaya Air segede gitu bisa masuk kampung! Dan take offnya dari Pasar Gede. Aneh....
Jogja, 24 Nov 2009
bibirmu mekar begitu saja
malam ini kita baru saja selesai mengobral sepoisepoi malam,
yang dibubuhkan lapis demi lapis nafasku-nafasmu.
obrolan memadat jadi tawa-tawa kecil.
lama-kelamaan...tak sadar kau ucapkan kesan-kesan yang amat manis
—di antara guratan bibir merah jambumu yang mekar begitu saja.
selalu...dan selalu begitu
Lembayung
Suatu ketika di musim gugur. Skandinavia, 1983. Seorang gadis menyepi mencari kebahagiaan di Vadso, sebuah desa terpencil di ujung geografi. Sawah-sawah tengah menguning. Pohon cemara dan bunga raflesia terlihat sungguh perawan. Langit tidak sendiri. Ia berteman warna kuning-orens dan guratan sinar lurus yang lama-lama pudar membentuk komposisi indah. Gadis itu mengangkat kepalanya ke atas. Ia mengagumi keindahan lembayung. "Aku seperti langit itu," katanya dalam hati.
Vadso bukanlah tempat impian, bagi Karina, nama gadis itu. Tetapi begitu mudahnya mengatakan gelisah dan menggantinya dengan tangis, atau lamunan yang berujung pada kekosongan pikiran. Usianya belumlah genap 19 tahun, tetapi secemerlang pemikir yang menyumbangkan ilmunya untuk dunia, Karina adalah harapan bagi masa depan. Ia menyepi untuk mencari kesamaan-kesamaannya dengan alam.
Alam itu, yang terdiri dari air, cahaya, dan udara, selalu memberikan inspirasi bagi Karina, di sela-sela perenungannya mencari hakikat hidup: tentang kesunyian dan kefanaan. Air melepaskan dahaga. Cahaya memberi terang pada setiap jalan.
Dan udara adalah kebebasan.
Suatu waktu ia bertemu seorang pria yang menanyakan tentang cita-cita. "Tahukah kamu, kenapa seorang Bunda Teresa memiliki cita-cita yang amat sederhana? Yaitu melayani umat manusia. Tetapi, dalam kesederhanaan itu tersimpan sesuatu yang tidak mudah. Yang tidak bisa dicapai tanpa adanya ketulusan. Apa cita-citamu, Karina?"
Karina tertegun. Ia menatap wajah pria itu dengan dahi sedikit berkerut. Tetapi pria itu mengerti, wajah Karina bukanlah tanpa sebab. Ia tengah mencari jawaban yang pasti. Sementara, daun-daun di sekitarnya satu-persatu berjatuhan.....
Sama seperti ketika Mahatma Gandhi mencita-citakan umat manusia terbebas dari segala jenis permusuhan dalam jalan perdamaian, kasih sayang, dan kebahagiaan. Karina merenung dan mengingat barisan mutiara Dhammapada, tentang Sukha Vagga (kebahagiaan). Buddha Gotama mengajarkan pada gadis itu: "Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di antara orang-orang yang membenci, kita hidup tanpa benci."
Yah, kebencian bukanlah tujuan untuk mencari kebahagiaan. Seperti gunung yang nampak indah menjulang, kebiru-biruan. Tetapi, pendakian di atasnya tidaklah semudah menggelincir di atas salju. Ada juga kemungkinan untuk hilang dan tak pernah kembali lagi, seperti cerita pecinta alam di suatu sore.
Ah, Karina, kamu adalah gadis yang penuh kelembutan. Perasaanmu adalah jelmaan dari sutra-sutra yang berkelebatan di angin. Pria itu mengerti, kelembutan tak pernah lahir dari keterpaksaan, melainkan ketulusan hati. Tetapi cita-cita itu, yang kau jawab dengan penuh rasa sungkan, adalah sebagian dari mimpi-mimpimu selama ini: tentang janji-janji-Nya yang indah.
Karina pun akhirnya menjawab pertanyaan pria itu: "Cita-citaku akan tumbuh bersama perasaan-perasaan-Nya. Dan aku akan menjadi perempuan yang berbahagia karena cinta. Sederhana, bukan?"
Pria dengan tatapan tajam itu terheran-heran mendengar jawaban dari bibir Karina, yang tak meninggalkan kepastian. "Siapa yang dimaksud 'Nya' sesudah kata perasaan? Akankah Tuhan? Akankah kekasih? Ataukah alam semesta?" Gumam pria itu.
Makin sulit bagi Karina, seorang perempuan biasa namun bersahaja itu, untuk menolak kebahagiaan, dan memperjuangkannya sehingga menjadi tujuan dari hidupnya. Usia 19 tahun bukanlah usia yang sedikit untuk titik tolak sebuah langkah.
Sesudah gumamnya, Pria itu mau bertanya apa lagi pada Karina?
Selalu ada yang mengejutkan, dari perjumpaan-perjumpaan Karina dengan banyak orang. Terutama ketika ia ingin duduk dan menyepi, selalu saja ada pria yang menanyakan hal-hal yang membuat Karina bertanya kembali, siapa dirinya.
Siapa sesungguhnya perempuan ini? Apakah ia terlalu salah dan buru-buru menilai kehidupan? Bahkan egois dan terlalu cepat memutuskan langkah-langkahnya.
Maklum, usia remaja tak selalu lahir dengan manajemen yang serba pasti. Alias, rencana-rencana itu justru tersirat begitu saja, dalam peristiwa-peristiwa yang tak terduga, seperti lahirnya berbaris-baris puisi, yang bisa tiba-tiba mencuatkan kejutan, dan bisa begitu saja meluapkan ketercenungan dengan penuh pertimbangan.
Hmmm.....kenapa hidup harus dipikir berat? Tidakkah ada yang lebih mudah selain memandangi bintang di waktu malam, atau merasakan tetesan hujan bulan November--lalu membawa semua itu ke dalam mimpi indah. Yah, nice dream.
"Hidup ini baiknya mengalir saja," kata Karina.
Ah, tetapi, semengalir-mengalirnya sungai tetap juga akan ketemu karang dan bebatuan--yang bisa menghambat lajunya, atau bisa juga mempermanis pemandangan.
Pria itu kemudian bertanya lagi:
"Apa sebabmu menyendiri di sini?"
"Tak mengapa, aku hanya ingin bersahabat lebih intim dengan alam."
"Siapa Tuhanmu, Karina?"
"Alam semesta."
"Sampai kapan kau bertahan di sini? Bukankah ular bisa memakanmu? Dan burung elang bisa saja mencabik rambutmu sampai patah?"
"Tak mungkin...."
"Mungkin saja. Semua di dunia ini mungkin terjadi."
…..
Burung merpati tiba-tiba hinggap di pundak Karina, terpekur kecil, seperti memberikan firasat atas panggilan alam. Lugu dan manja. Merpati putih dengan sedikit bulu abu itu diam menunggu belas kasihan, menunggu usapan dari gadis sengaja dipilihnya untuk hinggap. “Kau tahu, putih adalah kesucian, dan abu adalah perlambang penghapusan akan dosa,” kata Karina jinak pada merpati. Burung itu mengerti. Ia mengepakkan sedikit sayapnya. Seolah setuju kalau kelahirannya bukan semata memenuhi tanggung-jawab untuk terbang, tetapi juga menelusuri makna-makna.
Karina teringat lagi sejarah Skandinavia. Ia terkagum pada Balder, adalah Dewa kedamaian, keindahan, kegembiraan, dan kesucian dalam Mitologi Nordik. Dia adalah putera kedua Odin. Istrinya Nanna dan putranya bernama Forseti. Balder memiliki kapal terbesar yang pernah dibuat, bernama Hringhorni, dan sebuah balairung yang bernama Breidablik. Yang menyedihkan, Ia mati karena ulah Loki yang memperdaya Hodhr.
“Kau jangan mati merpati. Aku tahu, kenapa kau hinggap di sini. Karena kau menghindari kematian. Dan Balder pun tak pernah menyadari bahwa kesuciannya dimanfaatkan dalam tipu daya, sehingga ia mati, dan berhenti menjadi Dewa.”
Ingatan Karina masih sangat tajam. Satu pesan yang penting dari keajaibannya sebagai perempuan, adalah pengingatan akan sejarah kedamaian. Bukan saja hubungan antara manusia dan manusia, manusia dan Tuhannya, tetapi juga terhadap apa saja yang ada di dunia ini—sampai di batas-batas yang tak pernah kelihatan.
Vadso memang dikelilingi hamparan pesona laut dan juga sudut-sudut kecil tempat merpati beranak-pinak, melangsungkan metamorfosanya. Letak dusun ini ada di paling ujung utara Skandinavia, diapit Arctic Ocean dan Barent Sea. Jelas negeri ini jauh dari hiruk pikuk. Masyarakatnya menggantungkan hidup dengan melaut dan bertani. Hobens, ayah Karina, adalah seorang petani—tetapi naasnya, ia diteror oleh penyusup yang akhirnya menghanguskan ladangnya beserta Hobens dan istrinya Gabriele…
Sesudah peristiwa itu, 1978, Karina adalah seorang yatim piatu. Kemana pun pergi ia hanya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung selesai…
Hidup bagi Karina adalah semacam pisau yang terdiri dari bermacam sisi. Kiri kanannya adalah ancaman, dan juga teror tanya yang berkepanjangan. Lembayung demi lembayung, hari demi hari, selalu menaklukannya dalam sepi. Kicau burung dan ranting yang jatuh begitu saja seperti mengekspresikan pesimisme dan optimisme di antara cita-cita. Dan lembayung itu masih tetap setia di atas, tak pernah merubah warnanya.
Sesekali Karina mengernyitkan kening dan bertanya:
“Apa yang dimaui lelaki itu, sampai ia bertanya aneh-aneh tentangku? Bukankah ia sudah mengerti apa yang tengah kuinginkan dan kurasakan?”
Jauh hari sebelum peristiwa demi peristiwa “tentang tanya seorang pria” itu mengisi pikiran Karina, ia sudah tahu ada yang tidak beres di sekeliling hidupnya…tetapi sekaligus, ia makin penasaran terhadap lelaki itu….
Disibakkannya rambut lurus dan gelap itu. Makin tak mengerti, tetapi juga makin tak karuan. “Misteri, misteri, dan misteri,” Karina bergumam. Penasarannya makin menjadi.
Bagaimana pun juga, Karina adalah gadis yang setia pada waktu, dan ia akan menjelaskan pada orang yang ingin menyelami perasaannya lebih dalam. Yang sungguh-sungguh menghargai perasaannya sebagai perempuan. Dan, yang mampu memberikan semangat demi semangat dalam setiap langkah sepi Karina mencari kesunyian.
Karena tak mungkin, gadis secantik Karina hanya rampung ditelan lembayung dan alam. Tak mungkin pula, gadis seramah Karina hanya selesai diombang-ambingkan teka-teki. Ia setia menjawab…dan terus menjawab… apapun pertanyaan lelaki itu.
Hubungan komunikasi keduanya makin hari makin terasa akrab. Pria yang belakangan diketahui bernama Rafaga itu banyak memberi ruang ungkap bagi perasaan Karina. Ia mengisi kesepian, setiap pagi mendatangi dengan salam, sarapan, dan sapaan yang hangat.
Diam-diam…ternyata Rafaga jatuh hati pada Karina. Begitu juga sebaliknya.
Hmmm… teristimewa, alasan Rafaga adalah karena kelembutan, keramahan, dan kesabarannya, bukan karena memelas.Ini semua seperti mukjizat yang begitu saja muncul tanpa adanya proses-proses doa dan kerja keras melampaui garis transendensi.
“Tahukah kamu, aku tak perlu bertanya apa-apa lagi padamu, Karina. Aku hanya ingin meyakinkanmu bahwa aku mencintaimu, sesuai dengan ramalan yang dituliskan para pujangga. Sesuai dengan mimpi masa silamku. Bahwa di Vadso ini akan terjadi pertemuan antara lelaki dan perempuan, yang berujung pada perpaduan kasih abadi. Dipayungi lembayung yang mesra tanpa mendung. Dikelilingi aroma bulir tanah bulan Desember. Karina, aku ingin tenggelam di sebalik perasaanmu. Aku ingin bunga menjadi keindahan yang kita petik setiap hari. Aku ingin menyayangimu tanpa perlu berkata-kata, tetapi dengan perbuatan. Aku ingin menggenggam penuh harapan-harapkan yang kautiupkan pada langit. Kuyakin kamu merasakan hal yang sama, Karina…”
Suasana berubah hening…
Tak lama kemudian, keduanya berpeluk hangat..
Lembayung tak bisa berkata-kata lagi…
Kecuali diam dalam senyuman
Jogja, 30 November 2009
Jumat, 06 November 2009
Fana
hanya mawar yang mencium wangi kita
hanya basah yang menghujankan airnya
hanya sendiri yang menemani kita sepi
hanya gelap yang membuat kita bercahaya
hanya fana yang menjadikan ada
hanya jauh yang mendekatkan kita
hanya diam yang membuat kita bicara
semua untuk dirasakan
bukan dipikirkan
5 nov. 09
Jumat, 16 Oktober 2009
Sajak Virtual
Hidupmu terdistorsi digital-virtual
Nafas pagimu selalu tak henti diatur layar datar
Bangun tidur sudah ketik tombol
Air kencingmu kau tumpahkan di CPU sambil be-ol
Sambil memelototi garis dan gelombang,
lalu kau bilang:
“Aku berkembang di sini!”
Tapi kau tak tahu, apa yang terjadi di luar sana (?)
Kau selalu mencari aroma kontekstual di atas ini semua
Realitas kau ciptakan sendiri dari pikiranmu,
yang masih dibalut sarung,
yang masih dibingkai air liur
Kau memotong gelombang itu,
dan kau pun tertawa sendiri
“Apa-apa an ini…?”
Apalagi kau bukan sufi,
oleh karena itu kau tak suka yang imaterial
keseimbangan menjadi buronan bagi pencarianmu,
yang tidak sejati,
karena kau hanya mengurusi orang lain ketimbang dirimu sendiri…
mungkin juga pencarianmu terlalu banyak,
kebisaan, keinginan dan harapanmu terlalu melimpah,
yang kau lakukan terlalu fanatis dan ambisius
tapi kau tak sadar, kau telah dibius waktu dan keadaan.
pemikiran di masa mudamu sebenarnya nyaris sempurna
tetapi hampir semua ditelan angin dalam tongkrongan yang oral,
tak pernah jadi kertas, tak pernah jadi abadi,
tak pernah jadi konsumsi anak sekolahan atau masyarakat banyak…
itu sayang, karena amalmu hanya boomerang,
kau lempar dan kembali lagi padamu…
itu adalah “bom” bagi perjalananmu
virtual tidak bisa menciptakan apa-apa,
kalau kau tak percaya
bahwa teknologi adalah manusia itu sendiri….
Jogja, 20 Agustus 2009
Kamis, 15 Oktober 2009
Kangen
Bagi banyak orang, rindu atau kangen adalah sebuah harapan, yang ujungnya harus dengan pertemuan.
Hmmm…..
Tetapi, kangenku padamu jelas lain,
Ini adalah kangen yang sudah tertahan 15 tahun lebih lamanya,
dalam jejak yang hilang ditelan waktu…dan sekarang adalah pertemuan itu…
Bayangkan….15 tahun adalah waktu yang lama sekali, bukan?
Dan seringkali, lagu-lagu cinta mengingatkanku akan keindahan rasa kangen itu, yang menurut penyair Darmanto Jatman, kata “kangen” tak pernah punya padanannya. Ia sungguh indah dan memesona perasaan.
Yah, kangen. Kamu pasti pernah mengalaminya juga,
Dewa 19 membikin lagu “Kangen” pada tahun 90-an, saat kita masih culun dan belum pernah kenalan, tetapi kita satu atap di Maria Suci Diah Rinumpaka Niskala. Kini di tahun 2009, kangen itu muncul lagi… dalam keterpisahan Jogja dan Makasar, dalam jejak yang sudah ketemu telapaknya.
Dan menurutku ini wajar, karena aku manusia yang bisa dibuat bahagia oleh rasa kangen.
Kamu tahu, kenapa rasa kangen itu muncul begitu hebat akhir-akhir ini?
Yah, jawabannya adalah karena kamu telah berubah menjadi hujan…
yang membasahiku pelan-pelan,
kamu telah berubah menjadi embun, yang artinya kesejukan.
juga karena keramahan-keramahanmu yang mengalahkan perempuan mana pun
di dunia ini.
Percayalah, rasa kangen itu akan makin mekar dari hari ke hari….
Jogja, 15 Oktober 2009
untuk Jati
detik makin diam.
Aku sudah tak tahu,
apa artinya malam.
Kupasrahkan tidurku di nyenyak
dalam gurat senyummu yang manja
Jogja, 15 Okt. 2009
sepulang dari Parangkusumo
Rabu, 14 Oktober 2009
Tentang Rahasia dan Sebuah Perjumpaan
Di ujung tombak yang tenggelam separo
Di bibir laut itu
Kau menengadah di atasnya
Aku mengilhami hadirnya penciptaan
Jogja, 14 Oktober 2009
Musik Kontekstual, Makhluk Apa Itu?
500 tahun silam hingga kini, perjalanan musik memang telah dikuasai oleh yang kini ngetren disebut instrumentalia! Sejarahnya sudah lama, seperti ketika kita membaca lembaran sejarah penempatan teks dalam sebuah tulisan (lipsum), yang mulai muncul di tahun 1500-an. Dan, oleh sebab itu bicara tentang instrumental sudah bukan kejutan lagi. Maka, jika telinga orang zaman ini masih heran dengan musik instrumental dan kebingungan karenanya, itu sungguh aneh. Jika orang masih asing dengan musik kontemporer dan menganggapnya rumit, itu juga semakin menambah ruwet.
Cobalah datangi Sekaten, ritual besar dalam rangka Maulid Nabi itu. Bunyi-bunyian di sekitarnya (campuran bunyi dermolem, sepur kelinci, tong stand, kodok-kodok’an, pecut, arum manis, dsb), jauh lebih kompleks. Bolehlah, bahasa musikologisnya disebut multi-layer, bisa juga poli-texture tanpa konsesi. Hal ini bukan karena ketidak-tahuan orang akan adanya informasi, atau tidak ada yang menginformasikannya. Tetapi, sebaiknya kita harus kembali lagi ke pertanyaan dasar: bukankah makna soundscape yang setiap hari mengepung kita selalu berpesan “bebaskan bunyi dari makna” (seperti ketika kita mendengar tulalit es walls, susu murni nasional, siomay, sari roti, dsb). Dalam musik, kadang-kadang hal semiotis dirasa mengganggu, karena itu tidak membebaskan orang terhadap sumber bunyi yang dikonstruk. Makanya, ilmu semiotika tidak selamanya universal dalam konteks musik.
Sumber bunyi sudah habis?
Mungkin semua sumber bunyi abad ini sudah habis (ingat juga bahwa “diam”-nya John Cage adalah juga karena kejenuhan akan sumber), juga wacana akan silence yang lantas muncul sesudahnya. Kita juga bisa belajar dari musik India (Nada Brahma), yang “hubungan”-nya tak sesederhana antara musik dan emosi manusia saja, tetapi sampai ke masalah sains modern: kosmologi, morfologi, biologi, mitologi, fisika, dan sebagainya, yang sudah benar-benar terhubung menjadi satu kesatuan yang tidak tunggal lagi (Joachim-Ernst Berendt, 1987).
Maka yang ada sekarang hanyalah “mengulang dan mengulang.” Belum nampak kejutan baru seperti, jika dalam dunia lukis, adalah goresannya pelukis Hanafi: gelap, lebar, hanya ditempeli sebatang rokok di ujungnya, tetapi menyiratkan aroma mistik yang mengejutkan (kunjungi pameran 2nd Odyssey di Galeri Sri Sasanti Jogja), atau kejutan Sutardji Calzoum Bachri yang membebaskan makna dari kata-kata itu. Bagi Tardji, “cidi bibi tai” itu tak masalah: tetapi konsonan “i” menjadi eksotisme daya ungkap yang fantastis.
Agak geli juga melihat judul karya Slamet Sjukur untuk Yogyakarta Contemporary Music Festival 2009 kali ini: The Source: Where the sound returns. Mungkin bisa juga: return to sound meaning, atau apalah, yang jelas, di kepala “Mas Slamet” yang usianya sudah 70-an itu, dunia “bunyi” adalah sudah sebagai dunia yang membingungkannya. Aku sedikit iseng menggantinya dengan, misalnya “Mas Slamet” seorang Sastrawan, adalah pasti ia akan bilang: where the words return.
Nah, inilah. Dari dulu kita tidak biasa dengan istilah “musik kontekstual,” sementara dunia sastra kita pernah mengalami perdebatan panjang tentang “sastra kontekstual” pada dekade 1980-an (misalnya, baca novel tetralogi “Pulau Buru”nya Pramoedya Ananta Toer). Ini tentu menarik, pencerahan bagi dunia sastra masa itu. Sastrawan tidak bisa egois menikmati karyanya sendirian di kamar. Keberadaannya adalah bersatu dengan masyarakat dan ada di selingkar permasalahannya.
Musisi akademis lebih mengenalnya dengan istilah musik programatik, yang konon hulunya ada dalam The Four Seasons karya Antonio Vivaldi. Di sekitarnya adalah hal-hal ekstra musikal (kontekstual). Makanya, musik itu bicara soal alam, politik, sosial, dan sebagainya). Dalam lanskap populer, kita juga mengenal istilah “tembang balada,” yang mempercayai bahwa musik adalah hubungan erat dan revolutif dari konstruk komunikasi vertikal (misalnya Iwan Fals selalu melawan penguasa dengan lagu-lagunya).
Sudah 30 tahun belakangan ini, musik Barat di Indonesia tak pernah memberikan kejutan-kejutan kontekstual itu. Komponis atau pelakunya terlalu mengungkung diri dalam tafsir yang keliru dari sebuah perjalanan di atas perahu yang bukan miliknya. Dayung itu makin tak mengelak, ketika gerakan dengan ritme terlalu cepat, bisa membawa perahu nyebur ke laut, dan hilang seperti Adam Air.
Teror-teror berkepanjangan
Kita terlalu membawa pikiran-pikiran kita ke hal yang rumit. “Ke mana larinya dua belas nada itu (twelve-tone) itu? Atau, apa sesungguhnya keistimewaan micro-tone, kok kita memilihnya jadi idiom? Apakah tidak mungkin membikin komposisi dengan medium kertas saja? Atau cobalah kita belajar dari “Jazz Gladiator”-nya Sutanto Mendut, salah satu guru dari Magelang yang kukagumi pemikirannya itu.
Hari ini kita membeli dan membaca Alquran dalam ayat yang sama, misalnya. Minggu depan kita janjian untuk bertemu, membicarakan isi ayat itu. Yang keluar dari hasil diskusi bisa saja berbeda, antara aku dan kamu. Bukan pada persoalan baik dan buruk, karena semua ayat tentu baik. Tetapi adalah kepada bagaimana cara aplikasinya. Makanya, misalnya agama Islam di Indonesia ini bisa identik dengan terorisme, dan perpecahan berbagai aliran. Lalu pada akhirnya muncrat banyak darah yang mematikan umat manusia. Belum lagi ternyata Nurdin M. Top juga suka disodomi. Wah..wah..wah…Padahal, mereka, entah Islam kiri atau kanan, tenggara atau barat daya, memegang Alquran yang sama. Bagaimana ini?
Lalu aku bertanya lagi, di mana sumber itu? Ke mana pula musikologis akan pergi? Yang dalam tulisan Sumarsam (Gamelan, 2003) kubaca, bahwa Ki Sindusuwarno maupun Ki Martopangrawit adalah pemegang teguh hubungan antara teori dan rasa. Ini konsep musikologis yang amat penting.
Jangan heran pula, jika Solo International Ethnic Music (SIEM) maupun Solo International Performing Arts (SIPA), yang keduanya diadakan di Solo, bisa didatangi puluhan ribu orang pada setiap malamnya, sementara Yogyakarta Contemporary Music Festival (YCMF) tidak pernah mencapai prestasi massa sebesar itu. Ini karena apa? Jangan bicara kualitas dulu pada masing-masing arena itu, tetapi pada kecerdasan dan keterbukaan akan segenap gejala kontekstual-sosiologis yang mengelilingi dinamika masyarakat Indonesia ini, yang menurut Goenawan Mohamad sudah bukan multi-kultural lagi, tetapi inter-kultural.
Bukan tidak mungkin kita membuka kembali lembaran sejarah musik Indonesia, misalnya dengan mengingat kembali karya Amir Pasaribu yang bicara tentang wayang, atau mempelajari karya lain yang kontekstual, supaya, salah tafsir ini tidak tertahan lama dalam perahu yang rapuh dan kehilangan kendali.